Dia yang Akhirnya Memikatku


Saya termasuk orang yang senang belajar bahasa. Dahulu, keinginan saya adalah bisa menguasai banyak bahasa; bahasa daerah maupun mancanegara.

Senang rasanya bisa mengenal beberapa bahasa, walaupun ekspektasi saya di atas tak tercapai.

Bagi setiap individu, termasuk saya tentunya, proses belajar bahasa itu dimulai dari lingkungan keluarga dekat. Bahasa pertama saya sudah pasti bahasa kedua orang tua saya, Bahasa Gorontalo. Keluarga besar saya memang berdarah Gorontalo asli.

Bahasa kedua yang saya kenal adalah Bahasa Bolango. Bahasa ini digunakan masyarakat Molibagu, suatu ibukota kabupaten yang terletak di selatan Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Waktu itu, Papa saya kebetulan dimutasi ke Molibagu, Ibukota Kecamatan Bolaang Uki. Maka mulailah kami sekeluarga mengakrabi Bahasa Bolango tersebut. Saya mulai bersinggungan dengan bahasa ini sejak duduk di bangku kelas 3 SD  sampai kelas 2 SMP

Berhubung teman-teman sepermainan saya di Molibagu berbicara dengan Bahasa Bolango (tepatnya Melayu-Bolango), mau-tidak mau, saya pun latah bertutur dengan bahasa tersebut. Namanya juga masih bocah, kemampuan menyerap bahasa bisa dibilang masih cemerlang. Alhamdulillah tak ada kesulitan dalam beradaptasi dengan bahasa ini. Hanya saja imbasnya, saya perlahan meninggalkan kebiasaan bertutur dengan Bahasa Melayu-Gorontalo.

Kampung inilah tempat saya menghabiskan masa kecil yang riang. Pic was taken by Vicky Kembara. Foto-foto lainnya bisa dilihat di http://www.panoramio.com/user/1462290?comment_page=2&photo_page=1
Kampung inilah tempat saya menghabiskan masa kecil yang penuh keriangan.
Gambar milik Vicky Kembara

Saya mengakrabi lagi Bahasa Melayu-Gorontalo ketika pindah SMP ke Kotamadya Gorontalo. Sampai tamat SMA, saya tetap setia dengan bahasa ini. Mulai saat itu pula, saya membiasakan lisan bertutur dengan Bahasa Gorontalo asli, ketika mengobrol dengan orang tua.

Perlu diketahui, Bahasa Gorontalo dan Melayu-Gorontalo itu beda ya. Kalau Melayu-Gorontalo, mudah sekali ditangkap artinya oleh orang-orang yang tidak berbahasa Melayu-Gorntalo. Adapun Bahasa Gorontalo, atau “bahasa planet” kata teman-teman kos saya di Jogja, tidak semua orang bisa paham. Kebanyakan hanya orang-orang tua saja yang masih setia menggunakan bahasa ini. Yang muda-muda, sayangnya, hanya sampai level Melayu-Gorontalo, meski mereka juga paham Bahasa Gorontalo. 

Kalau mau tahu perbedaan pengunaan Bahasa Gorontalo dan Melayu-Gorontalo, ini dia contohnya.

* Saya somo pigi ka Jakarta (Melayu-Gorontalo)

 Artinya: Saya sudah mau pergi ke Jakarta.

* Watiya ma mona’o de Jakarta  (Gorontalo) ———————> CMIIW

Artinya:  Saya sudah mau pergi ke Jakarta.

Beda jauh kaaan?

Bahasa selanjutnya (baca bahasa asing pertama) yang saya pelajari adalah Bahasa Inggris.  Bahasa ini baru saya pelajari di bangku awal SMP. Saya lumayan tergila-gila waktu itu dengan Bahasa Inggris. Sampai beberapa curhatan saya di diary, saya tulis dengan Bahasa Inggris. Makin kecanduan lagi gara-gara keseringan nonton sala satu saluran TV luar negeri.

Selang kemudian, akhirnya saya sadari, bahwa kanal yang sering saya tonton dulu itu, enggak pantas banget untuk anak SMP (bahkan untuk semua usia, kalau mau pakai prinsip saya sekarang). Sayangnya, waktu tahap “kecanduan” Bahasa Inggris itu, Papa saya tidak sanggup membiayai kursus Bahasa Inggris. Waktu itu tahun 1998, pas banget krisis moneter, kan ya? Lagian, mana bisalah mau kursus, orang di kecamatan saya juga tak ada satupun lembaga kursus Bahasa Inggris. *dijitak massa* Ada sih, les-les gitu, tapi yang ikut mayoritas anak SMA (kawan-kawan kakak saya). Saya kan maluuuuuu, kakak! Pengajarnya juga guru Bahasa Inggris kakak saya di SMA-nya dia.

Sampai sekarang saya tak pernah mencicipi yang namanya les Bahasa Inggris ala lembaga kursus gitu. Kasian amat yak? Eh, tapi pas kuliah, sempatlah satu semester ikut mata kuliah Bahasa Inggris. Makanya, kemampuan Bahasa Inggris saya sampai sekarang, ya segitu-gitu aja. Sampai di level kindergarten ajalah pokoknya.

Tahun 2002, saya berlayar ke Jogja. Kota impian saya sejak di bangku akhir SMA. Kota yang memenuhi lembar-lembar diary saya ketika masih berseragam putih-abu-abu. “Aku haru harus kuliah di sana, pokoknya” begitu salah satu potongan isi buku harian saya. Alhamdulillah, ternyata saya betulan juga terdampar di kota penuh kenangan dan saya cinta itu. *lirik mamas “teman serumah”*

Di Jogja inilah, petualangan saya beradapatasi dengan Bahasa Jawa dimulai. Bahasa yang benar-benar asing buat saya. Proses belajarnya, saya bilang, benar-benar dicekoki paksa. Bayangin aja, di kampus, teman-teman saya yang orang Jawa anti banget berbahasa Indonesia. Saya pikir, mereka itu susah, apa males ya, ngomong berbahasa Indonesia. Tiap ativitas diskusi tugas kelompok, teman-teman Javanese ini, mestiiiii selalu berbahasa Jawa. Saya awal-awal sempat stres dengan masalah bahasa Jawa ini.

Lama-lama, karena punya konco dekat sekos asli Ngawi, yang logat Jawanya medok pake banget, saya jadi banyak paham Bahasa Jawa. Tentunya Bahasa Jawa khas Jawa Timur yang aksennya beda jauh dengan Jogja. Tahu kan, Bahasa Jawa a la Jogja yang halus itu? Akhirnya makin ketagihan berbahasa Jawa pas ikut salah satu UKM di kampus. Soalnya 99% penduduk UKM itu berbahasa Jawa. Tapi Bahasa Jawa saya juga masih yang cetek gitulah. Paling enggak, masih bisa dipakai untuk ngobrol dengan teman-teman Jogja yang ketemu di Riyadh. Jawa Kromo? Jauuuuuhh… 

Di bangku kuliah, saya sempat juga “mencicipi” beberapa program bahasa yang rutin per semester diadakan tetangga fakultas saya (Fakultas Ilmu Budaya), semisal kelas Bahasa Spanyol, Italia, dan Prancis. Sekarang, jangan tanya deh, kemampuan saya di tiga bahasa ini. M.I.N.U.S. (tuh, sampe di-bold dan underlined, lho). Namanya juga mencicipi. Khusus Bahasa Spanyol, sebenarnya sempat juga diseriusin. Soalnya, dulu cita-citanya pengen ke Spanyol. Alhamdulillah enggak kesampaian, malah diganti ke negeri yang lebih baik. *Sujud syukur*

Suatu siang, pas mau cari makan bareng sahabat tercinta, kami lihat mas-mas bercelana cingkrang (istilah celana di atas mata kaki), baru aja nempelin poster info kursus Bahasa Arab di papan informasi, dekat warung makan favorit. Mendekatlah kami ke poster itu.

“Ikut yuk Mba kursus Bahasa Arab yang ini. Asik loh, Bahasa Arab itu.” ajak si Sahabat.

“Enggak ah. Kamu aja yang ikut sana. Kan kamu udah pernah belajar, jadi udah bisa. Aku mau kursus yang lain aja dulu,” jawab saya dodol.

Padahal apa hubungannya coba? Harusnya kan kebalik ya? Saya mestinya yang paling berhak ikut tuh, karena pengetahuan Bahasa Arab saya NOL. Tapi tetap aja, saya belum terpikat sama sekali. Bingung juga, sih, waktu itu. Yang terlintas di kepala,  “Duh, Bahasa Arab ini nanti kepakai di kerjaan apa ya?”.  Maaak…sempitnya pikiran saya.

Lalu, apa kabarnya kelas macam-macam bahasa yang saya cicipi di tetangga fakultas setelah itu? Berhubung, mulai semester berapa gitu, kelas bahasanya sudah berbayar, akhirnya, saya dadah2 bye-bye deh, sama pelajaran-pelajaran itu. Ah, modal gratisan memang saya ini.

Tahun 2008, tahun di mana saya memulai hidup baru yang lebih bermakna (baca masa awal mengenal manhaj as–Salaf as-Shaalih), adalah masa pertama saya belajar Bahasa Arab. Ya, bahasa yang saya tolak mentah-mentah waktu diajak Sahabat untuk mempelajarinya. Bedanya, kali ini saya yang bersemangat. asli tak ada paksaan.

Saya harus mulai belajar sesuatu yang bermanfaat untuk akhirat saya, sebagai bayaran atas waktu yang terbuang percuma di tahun-tahun kemarin. Bahasa Arab bahasa Al-Qur’an, yess? Sudah pasti berhubungan dengan perkara akhirat.

Pagi-pagi, habis salat subuh, dengan perasaan gembira yang tak terlukiskan, saya dan sahabat saya menyusuri Jalan kaliurang KM.5,6 menuju Pogung Kidul, lokasi belajar Bahasa Arab kami ketika itu.

Kitab yang kami pakai judulnya “Al-Muyassar Fii ‘Ilmin Nahwi”. Dari judulnya sudah tahu dong, kalo kitab ini membahas ilmu nahwu. Daaaan…muka saya yang tadinya cerah ceria, mendadak jadi “bingung-face” dengan kening yang harus sering berkerut-kerut, saking tak pahamnya.

Materinya rasanya beraaaaaat bagi saya. Bersyukur Ibu Guru (semoga Allah menjaganya) sabar sekali, mau mengulang-ulang penjelasan. Kejutannya, di antara 4 atau 5 orang yang ikut pelajaran pagi itu, saya aja satu-satunya yang sekali pun belum pernah belajar Bahasa Arab. Kawan-kawan saya ini lulusan pesantren, gituh. Mungkin mereka sempat juga melirik-lirik jengkel ke saya, karena banyak bab yang saya minta untuk diterangkan berkali-kali. Sementara mereka sudah pengen cepat-cepat ganti bab.

Tapi asli, biar dikata judulnya Al-Muyassar (yang dimudahkan), saya merasa materinya itu susah sekali untuk level sangat pemula semacam saya. Qadarullah, belajarnya enggak tamat karena ustadzahnya sibuk ngurus-ngurus pernikahannya. Jazaahallaahu khairaa.

Singkat cerita, dari saat pertama belajar Bahasa Arab itu, proses belajar itu masih terus berlangsung hingga kini. Sejak mengetahui keutamaan dan urgensi Bahasa Arab, saya berusaha memaksa diri, untuk tidak patah semangat mempelajarinya. Yah, walau diakui rasa bosan itu tetap banyak melanda.

Alhamdulillah, rasanya ada sedikit peningkatan dalam bahasa Arab, jika dibandingkan dengan diri saya yang dulu. Walau belum bisa dibilang mahir, hebat, pakar, jago, dan sejenisnya, paling tidak (bifadhlillah), ada perubahan.

Apalagi setelah diberi nikmat bisa hidup di negara yang bahasa tuturnya adalah Bahasa Arab. Di sini, kegiatan belajar Bahasa Arab itu tersaji di mana-mana. Dari TV, radio, kajian di masjid-masjid, toko-toko, pun di sekolah-sekolah. Mata dan telinga kita jadi terbiasa dengan kalimat-kalimat Bahasa Arab.

Media-media yang memperkaya kosakata bahasa Arab. Searah jarum jam: Struk belanja super market (ayo tebak, belanjaannya apa aja?), Jus favorit saya, papan  nama resto dan warung kuliner khas Yaman langganan, papan penanda kran zamzam khusus jamaah perempuan (ini mah udah tahu ya?).
Media-media yang memperkaya kosakata bahasa Arab.
Searah jarum jam: Struk belanja super market (ayo tebak, belanjaannya apa aja?), Jus favorit saya, papan nama resto dan warung kuliner khas Yaman langganan, papan penanda kran zamzam khusus jamaah perempuan (ini mah udah tahu ya?).

Kesimpulannya, di antara sedikit bahasa yang pernah bersinggungan dengan hidup saya, Bahasa Arab inilah yang bisa dibilang CANDU. Candunya hanya bisa dirasakan orang-orang yang juga jatuh cinta dengan bahasa ini. Enggak percaya? Coba deh, kenalan mulai sekarang!

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Q.S. Yusuf: 2)

Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 20 Dzulhijjah 1434 H

Verawaty Lihawa

5 thoughts on “Dia yang Akhirnya Memikatku

  1. sama mba.. saya pun pecinta ilmu bahasa.. bahasa apa aja, pengennya sih bisa bahasa arab juga.. duh pengen banget ngelanjutin takhossus yang sempat terhenti waktu hamil dan melahirkan kemaren.. kalo liat yang bisa baca kitab arab gitu rasanya envyyy syekali.. *loh jadi curhat* 😀

    Like

    1. Ayo sini ke Saudi. Insya Allah jdi bisa bhs arab.
      Gpp kok curhat. Senasib ini. Hehe..
      Semangat, Ukh! Dilanjutin aja kelasnya.
      Eh, anti tinggalnya di Cibubur ya? Deket ke Bogor dong?
      Coba bisa kopdar ya pas kami pulang akhir bln ini.
      Rencana mau bbrp hari di Jkt & Bogor.

      Like

    1. Salam kenal juga, Mba Kink (panggilannya benar Mba Kink?)
      Sekarang masih di Riyadh, Mba. Tapi insya Allah nggak lama lagi pulang ke Indo.
      Kalo di Jogja belajarnya di Ma’had Umar Bin Khattab.
      Setau saya mereka belum punya situs sendiri.
      Adanya FP Facebook kalau nggak salah.
      Mba sendiri di mana domisilinya?

      Like

      1. iya mbak panggil apa saja boleh, hihi.. saya hampir dua tahun ini domisili di jogja mbak, ikut suami. belum banyak teman di sini, heheh.. makasi informasinya ya mbak :)..kpan2 main ke sini lagi..ijin link blognya ya? 🙂

        Like

Comments are closed.